Jakarta,Sebenarnya esai kali ini awalnya berjudul “Koperasi Desa dan Potensi Monopoli”, yang isinya tentang konsep Koperasi Desa Merah Putih ala Prabowo dan, konsep Koperasi Desa ala Bung Hatta.
Bahkan, saya menyempatkan diri memberikan saran di dalam esai ini, bahwa ketimbang dengan konsep atau sistem top-down yang bertentangan dengan konsepnya Bung Hatta, kenapa tidak di-mix saja? Peleburan top-down Prabowo dan bottom-up Bung Hatta bisa sangat memungkinkan terjadi, jika tujuannya ialah untuk kemandirian ekonomi daerah.
Namun, setelah saya membaca berita tentang Koperasi Desa Merah Putih berorientasi terhadap profit, saya memutuskan untuk mengganti judulnya dengan “Presiden Prabowo dan Para Pelacurnya’
. Kenapa? Kenapa saya menggunakan diksi “pelacur”? Banyak dari kita sudah mengetahui bahwa pelacur suka memberikan kata-kata manis, beretorika demi mendapatkan uang calon pelanggan. Dan, ya. Para Menteri di Kabinet Merah Putih pun sedang melacurkan diri mereka sendiri, mengkhianati cita-cita kemandirian ekonomi daerah dengan mengorientasikan Koperasi Desa Merah Putih terhadap profit.
Sebagai bahan informasi untuk rakyat Indonesia yang mayoritasnya bodoh, Mohammad Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, memandang koperasi sebagai jiwa ekonomi kerakyatan, lahir dari gotong royong untuk melawan eksploitasi rentenir, tengkulak, dan kapitalisme kolonial.
Di dalam visinya, koperasi adalah gerakan bottom-up, tumbuh dari inisiatif warga berdasarkan kebutuhan riil seperti petani yang bersatu untuk pemasaran hasil tani, atau nelayan yang mendirikan simpan pinjam.
Bagi Hatta, koperasi bukan hanya sekadar alat ekonomi, melainkan “sekolah demokrasi” yang mendidik rakyat tentang kebersamaan dan keadilan sosial, sesuai dengan sila kelima pada Pancasila. Pendekatan koperasi ala Moh. Hatta ini menolak intervensi berlebih dari pusat, menekankan otonomi desa agar koperasi tidak menjadi boneka birokrasi. Perbedaan visi dalam Koperasi Desa antara Prabowo dan Moh. Hatta ini, mencerminkan pertarungan ideologis tentang, apakah koperasi merupakan proyek negara yang berorientasi terhadap profit, atau gerakan rakyat untuk kemandirian?
Sedangkan, ambisi top-down Prabowo membawa risiko yang tidak bisa diabaikan begitu saja, di mana terdapat potensi monopoli dan ketergantungan pada pusat. Dengan dana Rp3-5 miliar per koperasi, aliran uang besar ini rawan dimanipulasi oleh elit lokal, seperti terlihat pada kasus korupsi Dana Desa yang merugikan negara sebanyak Rp598 miliar antara 2015-2024 (ICW, 2024).
Pendekatan seragam untuk 80.000 desa juga mengabaikan keragaman lokal, di mana terdapat desa yang agraris seperti di Jawa, yang tidak bisa disamakan dengan desa nelayan di Maluku, sehingga menciptakan celah bagi oknum untuk menguasai koperasi demi kepentingan pribadi. Jensen & Meckling (1976) dalam teori Principal Agent memperingatkan bahwa, ketika pusat terlalu dominan, agen lokal (kepala desa, BPD) cenderung mengejar agenda sendiri, bukan kepentingan rakyat.
Satu Komando Koperasi Prabowo
Koperasi Desa Merah Putih di bawah satu komando Prabowo menjanjikan revolusi ekonomi desa, tapi bayang-bayang monopoli dan korupsi mengintai di balik kemegahannya. Anggaran Rp 400 triliun—salah satu proyek terbesar dalam sejarah Indonesia—mengalir melalui saluran birokrasi yang sama yang telah gagal menjaga dana desa. Data Indonesia Corruption Watch (2024) mencatat 591 kasus korupsi dana desa sejak 2015, dengan kerugian Rp 598,13 miliar, di mana 81,8% pelaku adalah perangkat desa seperti kepala desa dan bendahara. Koperasi Prabowo, dengan dana jauh lebih besar, rawan jadi “ladang baru” bagi mafia desa—oknum yang memalsukan laporan proyek cold storage, menggelembungkan anggaran logistik, atau mengatur simpan pinjam untuk kroni. Bukankah ini cerminan naivitas: mengasumsikan birokrasi lokal, yang telah terbukti rapuh, akan menjalankan proyek sebesar ini dengan jujur?
Lebih parah, pendekatan satu komando ini tidak efektif dan efisien karena mengabaikan keragaman kebutuhan desa. Desain seragam untuk 80.000 koperasi—dari Aceh hingga Papua—mencerminkan arogansi birokrasi yang mengira tahu apa yang desa butuhkan. Desa agraris di Banten mungkin memerlukan gudang penyimpanan hasil tani, sementara desa pesisir di Sulawesi membutuhkan kapal logistik untuk pasar ikan. Teori efisiensi organisasi Williamson (1975) menegaskan bahwa struktur terpusat gagal menangkap informasi lokal, menyebabkan misalokasi sumber daya—seperti koperasi yang dibangun megah tapi tak terpakai karena tak relevan. Target legalisasi Juni 2025 memperparah risiko: desa dipaksa buru-buru bentuk koperasi tanpa pemetaan matang, berpotensi jadi proyek seremonial yang mati suri, mirip koperasi era Orde Baru yang kolaps setelah subsidi dicabut. Apakah ini bukan pengulangan sejarah yang sia-sia?